Siapa
yang tidak mengenal Mbah Maridjan dengan slogan khasnya “Rosa, Rosa” yang
sampai saat ini masih diputar di televisi sebagai iklan salah satu minuman
berenergi. Mbah Maridjan merupakan juru kunci gunung Merapi yang turut menjadi
korban keganasan erupsi gunung yang dijaganya. Seakan waktu terhenti pada saat
terjadinya letusan dahsyat yang menelan banyak korban jiwa tersebut. Hari Jumat
tanggal 5 November 2010 pukul 00.05 dini hari merupakan saksi bisu dari sebuah
jam dinding rusak yang masih terpampang di Museum “Sisa Hartaku” yang terletak
di dusun petung, Kepuharjo kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Touring erupsi merapi dengan menggunakan kendaraan Jeep (Tour of Merapi eruption by Jeep vehicle) |
Pertama
kali melihat pemandangan kedahsyatan letusan gunung Merapi agak miris juga
karena yang akan kita saksikan adalah kerusakan rumah, harta benda serta
penderitaan orang akibat letusan (erupsi) gunung Merapi. Biasanya kita datang
ke tempat wisata adalah untuk menyaksikan keindahan dan kebahagiaan, bukan
kesengsaraan. Baru setelah ada penjelasan dari pemandu dalam perjalanan pulang
dari Bunker Kaliadem sebagai tujuan akhir yang dikunjungi kita bisa memaklumi.
Selain mengingatkan kita akan kekuasaan yang Maha Kuasa, ternyata hasil pemasukan
dari pengunjung juga digunakan untuk membantu penduduk yang direlokasi akibat
terkena dampak bencana erupsi merapi di tahun 2010.
![]() |
Pesan Merapi di depan museum "Sisa Hartaku" (Merapi message in front of "The Rest of my Treasure" museum) |
“aku ora ngalahan. Tur yo
ora pengen dikalahke. Nanging mesti tekan janjine, mung nyuwun pangapuro nek
ono seng ketabrak, keseret, kenter, kebanjiran lan klelep. Mergo
ngalang-ngalangi dalan seng bakal tak liwati”. (Aku tidak mengalah
juga tidak ingin dikalahkan. Namun harus nyampe janjinya, hanya minta maaf
kalau ada yang tertabrak, terseret, kebanjiran dan tenggelam. Karena
menghalangi jalan yang bakal aku lewati). Begitulah pesan Merapi yang terdapat
di rumah museum “Sisa Hartaku”.
Selain
terdapat jam dinding yang berhenti berdetak, ada juga motor yang tinggal
rangkanya saja, kerangka sapi, uang dan gelas yang meleleh, televisi rusak,
kasur dan pakaian yang tersisa, serta perabotan rumah lainnya. Terpampang pula
foto wedus gembel (awan panas) yang
turun dari puncak merapi dengan bentuk yang menyerupai wajah angker. Suasana
sedih dan haru menyelimuti pengunjung yang datang ke museum “Sisa Hartaku” tersebut.
Semoga saja bencana serupa tidak terulang lagi di kemudian hari.
![]() |
Waktu terjadinya erupsi Merapi (Time of Merapi eruption) |
![]() |
Tengkorak Sapi akibat erupsi (Cow skeleton due to eruption) |
Setelah cukup lama berkeliling dan berfoto di area museum mini terutama di jam dinding bukti erupsi Merapi, perjalanan dilanjutkan ke batu Alien yang ada di pinggiran kali Bendol. Batu Alien merupakan batu besar yang sekilas menyerupai wajah manusia. Ada bentuk mata, hidung, dan mulut yang terukir di batuan alami tersebut.
Rumah kosong yang ditinggal oleh pemiliknya (Empty house abandoned by the owner) |
Batu "Alien" ("Alien" rock) |
Dari
batu Alien tersebut bisa kita lihat Kali Bendol yang ramai dengan penambang
pasir. Di satu sisi Merapi berbahaya ketika erupsi, di sisi lain hasil muntahan
gunung Merapi berupa material pasir yang bermanfaat untuk bahan bangunan. Kalau
cuaca sedang cerah kita bisa melihat puncak gunung Merapi menyembul dari balik
Bukit. Di tepi tebing kali Bendol yang kering tersebut kita bisa berfoto dengan
latar belakang daerah penambangan pasir nun jauh di bawah sana.
![]() |
Pemandangan Kali Bendol yang gersang (Scenery of dry Bendol river) |
Perjalanan
selanjutnya adalah menuju ke Bunker yang terdapat di dusun Kaliadem. Sepanjang
perjalanan masker harus selalu dipakai untuk menghindari banyaknya debu yang
berterbangan dikarenakan jalanannya masih belum diaspal. Bunker tersebut
menjadi saksi bisu pernah digunakan oleh relawan yang menghindari erupsi merapi
tahun 2006. Tetapi karena kedahsyatan awan panas yang tidak mampu ditahan oleh
Bunker, kedua orang relawan tersebut tewas di dalam Bunker.
![]() |
Kaliadem Bunker |
Udara
di sekitar bunker terasa dingin dikarenakan letaknya yang tinggi mendekati
puncak gunung Merapi. Untuk masuk ke dalam bunker harus menggunakan alat
penerangan dikarenakan keadaan bunker yang gelap gulita. Para pengunjung merapi
bisa beristirahat di seberang bunker yang banyak terdapat warung penjual
makanan dan minuman. Tidak ketinggalan pula para penjual bunga kering yang
dirangkai menjadi karangan bunga dan penjual kaos sebagai souvenir kalau kita
pernah mengunjungi gunung Merapi.
Apabila
kita berdiri di atas bunker tersebut akan tampak puncak gunung Merapi pada saat
cuaca sedang cerah dan tidak ada awan yang menutupi puncaknya. Dari kejauhan
akan kelihatan masjid yang letaknya di samping rumah Mbah Maridjan di dusun
Kinahrejo, desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Mbah
Maridjan merupakan juru kunci Gunung Merapi yang meninggal dunia pada saat letusan
dahsyat tahun 2010. Beliau bersikeras tidak mau dievakuasi oleh tim dikarenakan
keyakinannya dampak erupsi merapi akan seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk
menghormati jasanya pada tahun 2011 pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta
memberikan penghargaan Anugerah Budaya dalam kategori pelestari adat dan
tradisi.
_______________________________________________
TRACES OF MERAPI ERUPTION
Everybody knows Mbah Maridjan
with his trademark slogan "Rosa, Rosa" (Strong, Strong) which is still played on the
television as an advertising of
an energy drink. Mbah Maridjan was the guardian of Mount
Merapi, which became a victim of ferocity eruptions he guarded. As if
time stopped at the time of the massive eruption that sacrificed many lives. Friday,
November 5, 2010 at 00:05 early
morning is a silent witness of a broken wall clock that still displayed in the
Museum "Sisa Hartaku” or “The rest of my treasure" located in the hamlet petung,
Kepuharjo village, districts of Cangkringan,
Sleman regency, Yogyakarta.
First time
seeing the awesomeness sight
of Merapi eruptions is
somewhat sad because we will see the
destruction traces of homes,
property and people's suffering as a result of Mount Merapi eruption. If we come to the
tourist attractions usually to see the beauty and
happiness, not misery. Only when there is an explanation from a guide on the
way home from Kaliadem bunker as the final destination being visited we could
understand. Besides reminding us of the power of the Almighty, the result of
the influx of visitors is also used to help residents affected and relocated due
to the Merapi eruption in 2010.
“aku
ora ngalahan. Tur yo ora pengen dikalahke. Nanging mesti tekan janjine, mung
nyuwun pangapuro nek ono seng ketabrak, keseret, kenter, kebanjiran lan klelep.
Mergo ngalang-ngalangi dalan seng bakal tak liwati” (I
did not succumb also do not want to be defeated. But it must be deliver promise, only
apologize if anyone was hit, dragged, swamped and sank. Because in the way that
I would pass). That is Merapi message in Javanese Language written in front of the museum "The rest of my treasure".
In addition a
wall clock that stops beating, there are also a remaining of frame motors, cow skeleton, melting coin and glass,
broken televisions, mattresses and clothes remained, and other broken home furnishings. Also posted photos wedus gembel (hot clouds)
that come down from the peak of Merapi with a shape that resembles a haunted
face. Sad mood and emotion encompassed visitors who
come to the museum "The rest of my treasure". Hopefully, a similar
disaster does not happen again in the future.
After enough walk around and
take pictures in the museum area especially a wall clock as proof of time when Merapi erupted, proceed to Alien Rock in edges of Bendol river. Alien rock is a large
stone that at first glance resembles a human face. There is a form of eye,
nose, and mouth etched in that natural rock.
Along the way to the Stone Alien seen houses destroyed were left empty by their
owners with Albasia trees that thrive in the yard. It
is now a radius of 20 km from the peak of Merapi may not be occupied because it
includes disaster-prone areas. Because of the road is not smooth, the only
vehicle used is the type
of Jeep Toyota Land Cruiser. The rate charged for visitors of Merapi eruption
is 350 thousand rupiahs (USD 24.6) and 500 thousand rupiahs (USD 35.2) per Jeep
depending on the number of objects you visited. The price includes entrance fees, masks, drinks, and of
course the insurance from
Jasa Raharja.
From the Alien
rock we can see Bendol river bustling with
sand miners. On one side very dangerous when
Merapi erupted, but on the other
side Mount Merapi vomit resulted the form of
granulated materials useful to build the house. If the weather
was clear we could see the mountain peaks emerged from back
of the hill. On the edge of
the cliff Bendol river which was dry, we can take
pictures with a background of sand mining areas down there.
The next trip is
to go to Bunker located in Kaliadem
hamlet. Throughout the trip, masks should
always be worn to avoid the large amount of dust floating because the road was
still not paved. The bunker is a
silent witness which was ever been used by two volunteers who
avoided Merapi eruption
in 2006. Unfortunately because of the
awesomeness of heat cloud which is unable to be detained by
bunkers, two volunteers were killed in the bunker.
The air around
the bunker was cool because it is situated at height near the peak of Merapi
mount. To get into the bunker visitor
should bring lighting
equipment due to
atmosphere inside the bunker was very dark. The visitors
can take a rest across
bunkers where numerous stalls
selling food and drink. Also
exist the seller of dried flower which
was strung into garlands and sellers of T-shirt as a souvenir if we ever visit Mount Merapi.
If we
stand on top of the bunker will appear the peak of Mount Merapi when the weather was
sunny and no clouds covering the peak. From a distance appeared a mosque
that is located next to the house of Mbah Maridjan in Kinahrejo hamlet,
Umbulharjo village, Cangkringan, Sleman. Mbah Maridjan is the guardian of
Mount Merapi who died during the devastating eruption in 2010. He insisted not to be
evacuated by the team because of his faith the impact of Merapi eruption same as
previous years. To honour his services, in 2011 the government of Yogyakarta Special Region rewarding Cultural
Award in the category conservationist of customs and traditions.